Isu kejatidirian
bangsa Indonesia, bahwa Indonesia adalah pusat peradaban dunia, semacam
Atlantis, dalam pengamatan saya mengemuka dalam tiga tahun terakhir ini. Ini
seiring dengan terbitnya terjemahan dua buku kontroversial, “Atlantis itu Indonesia” (Arysio Santos, 2009) dan “Eden in the East” (Stephen Oppenheimer, 2010). Saya
berandai-berandai, bila kedua buku itu tidak diterjemahkan dan diterbitkan di
Indonesia, mungkin isu kejatidirian bangsa tak mengemuka serius sekarang,
meskipun Soekarno sudah meneriakkan soal jati diri bangsa lebih dari 50 tahun
yang lalu.
|
Buku Atlantis itu kemudian melahirkan banyak buku lain tulisan orang-orang Indonesia yang umumnya mendukung bahwa Atlantis itu Indonesia. Beberapa kalangan pejabat atau tokoh masyarakat pun ramai-ramai mendukung tesis yang digulirkan Santos ini entah apa tujuannya, mungkin berusaha mengangkat jatidiri bangsa yang mungkin dalam pandangan mereka tengah merosot. Saya dengar sendiri itu diucapkan dari seorang tokoh politik terkenal ketika saya diundang membedah buku Atlantis oleh penerbitnya. Sayangnya, hampir tak ada buku-buku ikutan itu ditulis dengan riset mendalam, hanyalah memanfaatkan isu.Lalu tesis bahwa Indonesia pusat peradaban dunia ini kemudian bergulir terus dan menjadi seperti bola salju, semakin bergulir menjadi besar. Dibentuklah lembaga-lembaga masyarakat atau komunitas-komunitas penghayat bahwa Indonesia adalah pusat peradaban dunia atau Indonesia adalah Atlantis. Lalu isu bahwa Indonesia “negeri 1000 piramida” pun mencuat. Beberapa gunung atau bukit kerucut mulai dicurigai sebagai piramida yang jauh lebih tua dari Mesir, beberapa bukit itu disurvei, digali, dibongkar.Terjadilah perdebatan di antara kalangan ilmuwan Indonesia juga di antara masyarakat yang pro dan kontra atas tesis ini. Sukuh, Cetho, Panataran, Gunung Padang, Gunung Lalakon, Gunung Sadahurip tiba-tiba naik ke permukaan, padahal sebelumnya, sebelum lima tahun lalu tak ada yang meributkannya, tenggelam di bawah permukaan.
Belakangan saya juga
mengamati, muncul isu bahwa sejarah Indonesia yang kita kenal selama ini,
yang pernah kita pelajari di sekolah dasar-menengah, yang diajarkan kepada
para mahasiswa sejarah, dan yang telah menghasilkan para sejarawan besar
Indonesia seperti Nugroho Notosusanto, Sartono Kartodirdjo, juga para ahli
arkeologi besar Indonesia seperti R Soekmono, RP Soejono adalah sejarah dan
arkeologi yang palsu, sejarah dan arkeologi buatan Belanda, penjajah. Semua
sejarah dan arkeologi yang beredar itu adalah sejarah yang bohong besar yang
ditujukan agar Indonesia tak punya jati diri.
Isu ini mengatakan
sejarah yang kita kenal sekarang ini adalah hasil perbuatan konspirasi
Belanda atau negara-negara Barat lainnya untuk mengecilkan Indonesia. Maka
isu ini mau tak mau menyulut ‘peperangan’ antara para sejarawan dan arkeolog
dengan para penganut teori konspirasi…
Para penganut teori
bahwa sejarah Indonesia itu palsu atau bohong besar menggunakan tesis dari
penulis Swedia Juri Lina, yang pada tahun 2004 menulis buku kontroversial “Architects of Deception- the Concealed History of Freemasonry“.
Dalam bukunya ini, Juri Lina berpendapat bahwa ada tiga cara untuk melemahkan
dan menjajah suatu negeri :
1. Kaburkan sejarahnya 2. Hancurkan bukti-bukti sejarahnya agar tak bisa dibuktikan kebenarannya 3. Putuskan hubungan mereka dengan leluhurnya, katakan bahwa leluhurnya itu bodoh dan primitif.
Menurut kalangan
penganut teori konspirasi, bahwa sejarah Indonesia itu adalah buatan Belanda,
buatan Freemasonry, buatan Knights of Templar, buatan Illuminati – kalangan
ini juga diilhami oleh novel kontroversial yang mengaduk-mengaduk fakta dan
fiksi Dan Brown, “the Davinci Code” atau “the Lost Symbol”
yang menggambarkan bahwa banyak konspirasi2 itu bekerja. Bahwa leluhur
Indonesia itu berkebudayaan sangat tinggi, bahkan Indonesia itu pusat
kebudayaan dunia, adalah usaha-usaha untuk meredam tesis no 3 dari Juri Lina.
Riuh sekali dalam
tiga tahun ini atas semua isu tersebut, menyambar perdebatan atau lebih
tepatnya “peperangan” di antara para ilmuwan, kelompok-kelompok masyarakat
yang pro dan kontra.
Di mana kita
sebenarnya berdiri? Apa yang sebenarnya tengah terjadi? Mungkin tidak mudah
untuk menjawabnya. Kita lihat saja. Saya punya pendapat, Anda pun punya
pendapat. Milikilah analisis dan argumen yang kuat, jangan sekedar ikut arus
(Utsman
khusniawan)
|
Kamis, 06 Februari 2014
Isyu Sejarah Dan Arkeologi Indonesia
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar