Sabtu, 08 Februari 2014

Sejarah Singkat Situs Biting lumajang


Situs Biting lumajang merupakan sebuah Situs Prasejarah yang terletak di desa Kutorenon, kecamatan Sukodono, lumajang, Provinsi Jawa Timur. Situs arkeologis peninggalan abad XIII ini diperkirakan adalah peninggalan dari kerajaan Lamajang.
Kawasan Situs Biting adalah sebuah kawasan ibu kota kerajaan Lamajang Tigang Juru yang dipimpin Prabu Arya Wiraraja yang dikelilingi oleh benteng pertahanan dengan tebal 6 meter, tinggi 10 meter dan panjang 10 km. Hasil penelitian Balai Arkeologi Yogyakarta tahun 1982-1991, Kawasan Situs Biting memiliki luas 135 hektar yang mencakup 6 blok/area merupakan blok keraton seluas 76,5 ha, blok Jeding 5 ha, blok Biting 10,5 ha, blok Randu 14,2 ha, blok Salak 16 ha, dan blok Duren 12,8 ha.
      
Nama Lumajang berasal dari "Lamajang" yang diketahui dari penelusuran sejarah, data prasasti, naskah-naskah kuno, bukti-bukti petilasan, dan hasil kajian pada beberapa seminar dalam rangka menetapkan hari jadinya.
Beberapa bukti arkeologis yang terkait kerajaan lamajang antara lain, Prasasti Mula Malurung, Naskah Negara Kertagama, Kitab Pararaton, Kidung Harsa Wijaya, Kitab Pujangga Manik, Serat Babad Tanah Jawi, dan Serat Kanda dan beberapa prasasti lainya.
Karena Prasasti Mula Manurung dinyatakan sebagai prasasti tertua dan pernah menyebut-nyebut "Negara Lamajang" maka dianggap sebagai titik tolak pertimbangan hari jadi Lumajang.
   
Prasasti Mula Manurung ini ditemukan pada 1975 di Kediri. Prasasti ini ditemukan berangka 1177 Tahun Saka, mempunyai 12 lempengan tembaga. Pada lempengan VII halaman a baris 1 - 3 prasasti Mula Manurung menyebutkan "Sira Nararyya Sminingrat, pinralista juru Lamajang pinasangaken jagat palaku, ngkaneng nagara Lamajang."
Arti dari tulisan prasasti itu adalah : Beliau Nararyya Sminingrat (Wisnuwardhana) ditetapkan menjadi juru di Lamajang diangkat menjadi pelindung dunia di Negara Lamajang tahun 1177 Saka.
         
Dalam Babad Negara Kertagama, kawasan ini disebut Arnon dan dalam perkembangannya pada abad ke-17 disebut Renong dan dewasa ini masuk dalam desa Kutorenon yang dalam cerita rakyat identik dengan "Ketonon" atau terbakar. Nama Biting sendiri merujuk pada kosa kata Madura bernama "Benteng" karena daerah ini memang dikelilingi oleh benteng yang kokoh

Berdasarkan penghitungan kalendar kuno, prasasti tersebut diketahui dalam tahun Jawa pada tanggal 14 Dulkaidah 1165 atau tanggal 15 Desember 1255 M.
Mengingat keberadaan Negara Lamajang sudah cukup meyakinkan, yakni pada 1255M itu Lamajang sudah merupakan sebuah negara berpenduduk, mempunyai wilayah, mempunyai raja (pemimpin) dan pemerintahan yang teratur, maka ditetapkanlah tanggal 15 Desember  sebagai hari jadi lumajang yang dituangkan dalam Keputusan Bupati Kepala Daerah Tingkat II Lumajang Nomor 414 Tahun 1990 tanggal 20 Oktober 1990.

Upaya konservasi Arkeologi oleh Masyarakat Peduli Peninggalan Majapahit (MPPM) Timur
Pada tahun 2010, lahir sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat bernama Masyarakat Peduli Peninggalan Majapahit Timur (MPPM Timur) yang melakukan advokasi pelestarian Situs Biting. Setelah itu juga Komunitas Mahasiswa Peduli Lumajang (KMPL) bergerak dalam advokasi ini dan kemudian juga elemen masyarakat lokal Biting juga mulai sadar akan peninggalan sejarah yang ada di wilayahnya.
Advokasi yang dilakukan oleh para pelestari Situs Biting telah melahirkan berbagai event seperti Napak Tilas yang telah digelar selama 2 kali berturut-turut, lomba lukis benteng maupun seminar Nasional. Untuk acara Napak Tilas kemudian menjadi agenda resmi Pariwisata Jawa Timur dari Kabupaten lumajang yang  akan diadakan setiap bulan juni.
Pelestarian Situs Biting di Lumajang Jawa Timur merupakan contoh bagi para pecinta dan pelestari sejarah dimana LSM, mahasiswa maupun masyarakat telah bahu-membahu melakukan sosialisasi maupun advokasi terhadap peninggalan sejarah.

Pembangunan Perumahan oleh perum Perumnas
Namun kini sangat Ironis dan sangat disayangkan banyak fihak, Pengembangan Proyek perumahan oleh Perum Perumnas masih terus berlanjut dan membuat keberadaan Situs yang diyakini sebagai peninggalan majapahit timur ini semakin memprihatinkan, kerusakan pada sisa peninggalan bersejarah semakin parah dan kritis dikawasan benteng sebelah barat perumahan.
Padahal pemerintah Kabupaten Lumajang sebenarnya telah membentuk Tim peletarian dan Perlindungan Cagar Budaya Kabupaten Lumajang dengan SK Bupati 188.45/41/427.12/2011 tanggal 23 Februari 2011 yang kemudian menghasilkan rekomendasi untuk melindungi Situs Biting sebagai Kawasan Cagar Budaya. Disamping itu Kementrian Sekretariat Negara juga telah mengirimkan surat kepada Kementrian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Direktorat Jendral Sejarah dan Purbakala, Direktorat Peninggalan Purbakala dan Kepala Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Jawa Timur dengan surat B-335/Kemsetneg/D-3/Ormas-LSM/SR.02/11/2011 pada tanggal 2 Novemver 2011 yang meminta penanganan masalah Situs Biting sebagaimana laporan dari LSM MPPM Timur. Tindak lanjut daripada hal tersebut, Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Jawa Timur melalui surat KS.002/0672/BP3JT/KPK/2012 menurunkan Tim Verivikasi untuk melakukan langkah pendataan Cagar Budaya Kabupaten Lumajang termasuk dengan prioritas Situs Biting.

SITUS BITING LUMAJANG
Menilik  Struktur Bangunannya Situs Biting Lumajang adalah Sebuah Benteng Raksasa Atau  salah satu benteng terbesar yang ada di Indonesia, Fakta ini Mencerminkan Bahwa  Lamajang adalah merupakan bekas sebuah kerajaan  besar .
Mengingat  Situs Bituing lumajang adalah suatu peninggalan arkeologis milik bangsa dan seluruh rakyat indonesia khususnya masyarak lumajang
Seyogyanya kepada Pemerintah atau Dinas terkait agar Meninjau ulang kembali kebijakan  yang berupa perizinan pembangunan di seputar areal situs Biting lumajang
dan Siapapun warga Negara Indonesia  Wajib berbangga  memiliki Aset  hasil Mahakarya  leluhur  bangsanya sendiri dan mendukung upaya Pelestarian Situs Biting Lumajang Agar Menjadi Kawasan Cagar Budaya Nasional  Sesuai dengan Undang-undang No. 11 Tahun 2010 Tentang  Cagar Budaya.

(Utsman khusniawan)                

Kamis, 06 Februari 2014

Isyu Sejarah Dan Arkeologi Indonesia

Isu kejatidirian bangsa Indonesia, bahwa Indonesia adalah pusat peradaban dunia, semacam Atlantis, dalam pengamatan saya mengemuka dalam tiga tahun terakhir ini. Ini seiring dengan terbitnya terjemahan dua buku kontroversial, “Atlantis itu Indonesia” (Arysio Santos, 2009) dan “Eden in the East” (Stephen Oppenheimer, 2010). Saya berandai-berandai, bila kedua buku itu tidak diterjemahkan dan diterbitkan di Indonesia, mungkin isu kejatidirian bangsa tak mengemuka serius sekarang, meskipun Soekarno sudah meneriakkan soal jati diri bangsa lebih dari 50 tahun yang lalu.

Buku Atlantis itu kemudian melahirkan banyak buku lain tulisan orang-orang Indonesia yang umumnya mendukung bahwa Atlantis itu Indonesia. Beberapa kalangan pejabat atau tokoh masyarakat pun ramai-ramai mendukung tesis yang digulirkan Santos ini entah apa tujuannya, mungkin berusaha mengangkat jatidiri bangsa yang mungkin dalam pandangan mereka tengah merosot. Saya dengar sendiri itu diucapkan dari seorang tokoh politik terkenal ketika saya diundang membedah buku Atlantis oleh penerbitnya. Sayangnya, hampir tak ada buku-buku ikutan itu ditulis dengan riset mendalam, hanyalah memanfaatkan isu.Lalu tesis bahwa Indonesia pusat peradaban dunia ini kemudian bergulir terus dan menjadi seperti bola salju, semakin bergulir menjadi besar. Dibentuklah lembaga-lembaga masyarakat atau komunitas-komunitas penghayat bahwa Indonesia adalah pusat peradaban dunia atau Indonesia adalah Atlantis. Lalu isu bahwa Indonesia “negeri 1000 piramida” pun mencuat. Beberapa gunung atau bukit kerucut mulai dicurigai sebagai piramida yang jauh lebih tua dari Mesir, beberapa bukit itu disurvei, digali, dibongkar.Terjadilah perdebatan di antara kalangan ilmuwan Indonesia juga di antara masyarakat yang pro dan kontra atas tesis ini. Sukuh, Cetho, Panataran, Gunung Padang, Gunung Lalakon, Gunung Sadahurip tiba-tiba naik ke permukaan, padahal sebelumnya, sebelum lima tahun lalu tak ada yang meributkannya, tenggelam di bawah permukaan.
Belakangan saya juga mengamati, muncul isu bahwa sejarah Indonesia yang kita kenal selama ini, yang pernah kita pelajari di sekolah dasar-menengah, yang diajarkan kepada para mahasiswa sejarah, dan yang telah menghasilkan para sejarawan besar Indonesia seperti Nugroho Notosusanto, Sartono Kartodirdjo, juga para ahli arkeologi besar Indonesia seperti R Soekmono, RP Soejono adalah sejarah dan arkeologi yang palsu, sejarah dan arkeologi buatan Belanda, penjajah. Semua sejarah dan arkeologi yang beredar itu adalah sejarah yang bohong besar yang ditujukan agar Indonesia tak punya jati diri.
Isu ini mengatakan sejarah yang kita kenal sekarang ini adalah hasil perbuatan konspirasi Belanda atau negara-negara Barat lainnya untuk mengecilkan Indonesia. Maka isu ini mau tak mau menyulut ‘peperangan’ antara para sejarawan dan arkeolog dengan para penganut teori konspirasi…
Para penganut teori bahwa sejarah Indonesia itu palsu atau bohong besar menggunakan tesis dari penulis Swedia Juri Lina, yang pada tahun 2004 menulis buku kontroversial “Architects of Deception- the Concealed History of Freemasonry“. Dalam bukunya ini, Juri Lina berpendapat bahwa ada tiga cara untuk melemahkan dan menjajah suatu negeri :
1. Kaburkan sejarahnya
2. Hancurkan bukti-bukti sejarahnya agar tak bisa dibuktikan kebenarannya
3. Putuskan hubungan mereka dengan leluhurnya, katakan bahwa leluhurnya itu bodoh dan primitif.
Menurut kalangan penganut teori konspirasi, bahwa sejarah Indonesia itu adalah buatan Belanda, buatan Freemasonry, buatan Knights of Templar, buatan Illuminati – kalangan ini juga diilhami oleh novel kontroversial yang mengaduk-mengaduk fakta dan fiksi Dan Brown, “the Davinci Code” atau “the Lost Symbol” yang menggambarkan bahwa banyak konspirasi2 itu bekerja. Bahwa leluhur Indonesia itu berkebudayaan sangat tinggi, bahkan Indonesia itu pusat kebudayaan dunia, adalah usaha-usaha untuk meredam tesis no 3 dari Juri Lina.
Riuh sekali dalam tiga tahun ini atas semua isu tersebut, menyambar perdebatan atau lebih tepatnya “peperangan” di antara para ilmuwan, kelompok-kelompok masyarakat yang pro dan kontra.
Di mana kita sebenarnya berdiri? Apa yang sebenarnya tengah terjadi? Mungkin tidak mudah untuk menjawabnya. Kita lihat saja. Saya punya pendapat, Anda pun punya pendapat. Milikilah analisis dan argumen yang kuat, jangan sekedar ikut arus

(Utsman khusniawan)